Menghadapi Rasa Rendah Diri

Sumber : Giphy

Sudah bertahun-tahun sejak masa itu. Masa dimana aku harus menghadapi berbagai macam cibiran dan ejekan dari teman-teman masa kecil tentang fisikku yang jauh dari kata cantik. Iya, aku termasuk ke dalam golongan perempuan yang bisa dikatakan tidak menonjol dalam masalah kecantikan. Aku agak gemuk, kulitku agak hitam, tidak pandai berdandan, tidak juga peduli masalah gaya pakaian. Apalagi aku juga anaknya agak kuper dan tidak memiliki banyak teman. Lengkap sudah kekurangan yang ada pada diriku.

Ejekan "Gajah Bengkak" dan "Gendut" sudah menjadi makanan sehari-hari. Hampir setiap hari pada zaman aku masih di bangku sekolah dasar selalu mendapatkan ejekan itu. Entah dalam nada gurauan atau memang menyalurkan rasa bencinya padaku dengan kata ejekan. Setiap kali mendengar ejekan mereka, reaksi pertamaku dulu ya marah dan membalas ejekan mereka. Namanya juga anak kecil, emosinya lebih pendek—walaupun bertambahnya umur pada akhirnya tidak menentukan seberapa dewasanya seseorang dalam menghadapi masalah.

Semakin besar, aku juga sadar ejekan mereka memang—agak berat mengakui—memang benar. Aku jelek, gendut dan bukan tipikal perempuan yang enak untuk dipandang. Kenyataan memang pahit, seakan menampar kedua pipiku. Hal itu mulai aku sadari pas aku mulai masuk bangku SMA. Kalau ada orang yang mengejek bentuk fisikku, aku hanya akan mengangkat bahuku dan bersikap acuh tak acuh. Berusaha tak peduli walau memang ejekan itu kembali mengingatkanku pada apa yang selalu aku alami saat kecil.

Aku selalu berucap pada diriku sendiri, 'Yah, memang benar. Ya, sudahlah biarkan saja. Apaan sih? Kayak enggak ada kerjaan.' dan kembali melanjutkan hari-hariku seperti biasa. Wah, hebat ya? Tapi, ternyata melupakan trauma masa lalu tak semudah membalikkan telapak tangan di udara.

Apa masih terasa sakit? Kalau jujur, iya. Aku masih merasakan sakit setiap kali mendengar cibiran orang tentang tubuhku. Jika ada satu atau dua hal yang berhasil memancing ingatanku pada body shaming yang dulu aku alami. Rasanya mau mencari tempat sepi dan menangis sekeras mungkin.

Luka itu sangat membekas hingga setiap kali aku diberikan pujian dalam hal fisik. Pikiranku akan langsung menuju ke arah negatif dan beranggapan kalau orang yang memberikan pujian itu memiliki maksud lain. Entah mengejek secara halus ataupun tidak. Aku merasa tidak pantas dan bahkan terkadang merasa agak tersinggung. Karena menurutku, pujian yang mereka lontarkan itu hanyalah kata-kata manis belaka.

Tapi, aku sudah belajar dan mulai menerima semuanya. Berusaha memperbaiki diri. Dan semoga saja dengan usaha—dan bantuan Tuhan tentu saja—aku bisa mengubah mental dan tubuhku menjadi lebih baik lagi kedepannya. Aku juga bersyukur pada Tuhan karena sekarang, aku mendapat orang-orang yang memang tulus ingin berteman denganku. Bukan karena harta, fisik ataupun ingin meraih kepopuleran semata ♥️✨
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url